Jakarta (ANTARA News)- Para ekonom di University of California (UCLA) dan University Of Rochester, Amerika Serikat telah menemukan hubungan antara banyaknya anak perempuan yang dimiliki oleh satu pasangan dengan tingginya kecendrungan untuk bercerai.
Pasangan orang tua yang memiliki tiga puteri misalnya cenderung memiliki peluang sepuluh persen lebih besar untuk bercerai dari pada mereka yang memiliki tiga putera.
Secara tradisional para pakar menyimpulkan bahwa ayah lebih menghendaki anak laki-laki sehingga ia akan berusaha keras untuk menjaga hubungan agar anak laki-laki itu bisa dibesarkan dengan baik.
Anak laki-laki kurang bisa mengatasi dampak emosional ketika orang tuanya berpisah, karena itulah orang tua berusaha tetap bersama untuk menjaga putera mereka.
Jadi pertanyaan utamanya mengapa dewasa ini ibu yang memiliki banyak anak perempuan lebih banyak bercerai dari pada mereka yang memiliki lebih banyak anak laki-laki?
"Seperti yang telah diketahui bahwa anak laki-laki lebih terpengaruh ketika orang tuanya bercerai ketimbang anak perempuan. Perempuan lebih mandiri, mereka berbicara lebih banyak sehingga emosi mereka lebih tersalurkan," kata Laura Galbraith, psikolog dan pimpinan Columba 1400, lembaga amal yang peduli pada pengembangna pribadi remaja yang berasal dari keluarga dengan orang tua tunggal.
"Anak perempuan juga lebih baik dalam mencari cara untuk mengatasi emosi dan bergaul untuk mencari dukungan ketika orang tua mereka berpisah. Mereka berbagi dengan teman, kaum perempuan dalam keluarga, dan tentu saja ibu mereka," Galbraith menambahkan seperti dikutip Daily Mail.
"Kadang anak perempuan juga yang menyarankan ibu mereka untuk jangan diam saja menyaksikan kelakuan buruk ayah merka. Memang benar bahwa ikatan persahabatan sejati terjalin antara ibu dan anak perempuan, sementara sang ayah merasa tidak dibutuhkan," tukas Galbraith lagi.
Galbraith menegaskan ada bukti-bukti kuat yang mendukung fakta bahwa anak laki-laku kurang bisa menyesuaikan diri dengan gejolak emosi ketimbang anak perempuan.
"Para orang tua secara intuisi sadar bahwa anak laki-laki tidak bisa mengatasi gejolak emosi jika orang tuanya bercerai, karena itu mereka memutuskan untuk tidak bercerai. Anak laki-laki cenderung tidak berbicara tentang perasaan mereka. Tekanan emosi mereka bisa disalurkan dalam berbagai cara negatif seperti luapan kemarahan, kesedihan, dan mengisolasi diri," papar Galbraith.
Beban semakin berat ketika setelah perceraian ayah mereka akan memberi mereka tanggung jawab besar di rumah. "Kamu adalah pemimpin rumah ini sekarang," para ayah sering berkata ketika mereka bercerai.
Menurut Dr Jennifer Leonard yang seorang psikolog, ibu yang punya anak perempuan lebih siap menghadapi gagalnya pernikahan karena mereka merasa puteri mereka tidak membutuhkan kehadiran dari seorang ayah, tak seperti anak laki-laki.
"Ibu yang memiliki anak laki-laki lebih besar kemungkinannya bekerja untuk tetap menjaga ada yang berperan sebagai ayah di dalam rumah tangga," kata Leonard.
"Pria tentu saja punya cara yang jauh berbeda dalam berinteraksi dengan anak-anak. Mereka kurang bisa merawat seperti perempuan. Mereka menularkan sikap kasar, semberono, mengambil resiko, dan mandiri," lanjut Leonard.
Ada pendapat yang mengatakan anak perempuan tidak bisa berkembang dengan baik tanpa kehadiran figur ayah."Karena ada hubungan yang akrab antara ibu dan anak perempuan maka peran ayah sering diabaikan," kata Galbraith.
"Ayah sebenarnya berperan dalam perkembangan seksual anak perempuan. Hubungan yang erat dengan ayah akan membuat anak perempuan lebih percaya diri," imbuh Galbraith.
Kathleen Cox mewanti-wanti hubungan yang terlalu akrab antara ibu dan anak perempuan. "Sangat memprihatinkan karena banyak ibu yang ingin menjadi lebih seperti sahabat anak gadis mereka," ujar Cox yang juga seorang psikolog itu,
"Siapa yang akan menjadi orang tua dalam hubungan itu?" tukas Cox. "Dewasa ini ibu mengikuti gaya hidup anak gadis mereka, menggunakan busana yang sama, dan pergi ke klub malam bersama," Cox menambahkan.
Cox juga prihatin karena para ibu lebih mementingkan ikatan dengan puterinya ketimbang hubungannya dengan suami. "Sebuah pola baru berkembang di mana keluarga berjalan tanpa peran ayah. Ayah merasa dikucilkan, terutama dalam keluarga yang didominasi oleh perempuan," urai Cox.
Uraian Cox itu seakan menemukan pembuktiannya dalam keluarga Tony Docherty, seorang perempuan berusia 52 tahun yang bercerai dengan suaminya setelah 28 tahun menikah. Cox kini tinggal dengan dua puterinya, Anna yang berusia 22 tahun dan Lousia yang berusia 20 tahun.
"Suami saya adalah seorang pria yang sangat maskulin dan ia tampaknya susah hidup dalam rumah tangga yang penuh dengan perempuan," kata Tony.
"Saya dan puteri-puteri saya sudah seperti sebuah tim dan ia merasa disingkirkan dari kehidupan kami," lanjut Tony yang kerap pergi berbelanja busana dan alat-alat rias bersama puterinya.
"Suami saya dulunya adalah seorang polisi dan ia juga pernah bermain sepak bola di tim junior Arsenal, tetapi puteri kami tidak memiliki hasrat untuk olahraga," pungkas Tony.
Pasangan orang tua yang memiliki tiga puteri misalnya cenderung memiliki peluang sepuluh persen lebih besar untuk bercerai dari pada mereka yang memiliki tiga putera.
Secara tradisional para pakar menyimpulkan bahwa ayah lebih menghendaki anak laki-laki sehingga ia akan berusaha keras untuk menjaga hubungan agar anak laki-laki itu bisa dibesarkan dengan baik.
Anak laki-laki kurang bisa mengatasi dampak emosional ketika orang tuanya berpisah, karena itulah orang tua berusaha tetap bersama untuk menjaga putera mereka.
Jadi pertanyaan utamanya mengapa dewasa ini ibu yang memiliki banyak anak perempuan lebih banyak bercerai dari pada mereka yang memiliki lebih banyak anak laki-laki?
"Seperti yang telah diketahui bahwa anak laki-laki lebih terpengaruh ketika orang tuanya bercerai ketimbang anak perempuan. Perempuan lebih mandiri, mereka berbicara lebih banyak sehingga emosi mereka lebih tersalurkan," kata Laura Galbraith, psikolog dan pimpinan Columba 1400, lembaga amal yang peduli pada pengembangna pribadi remaja yang berasal dari keluarga dengan orang tua tunggal.
"Anak perempuan juga lebih baik dalam mencari cara untuk mengatasi emosi dan bergaul untuk mencari dukungan ketika orang tua mereka berpisah. Mereka berbagi dengan teman, kaum perempuan dalam keluarga, dan tentu saja ibu mereka," Galbraith menambahkan seperti dikutip Daily Mail.
"Kadang anak perempuan juga yang menyarankan ibu mereka untuk jangan diam saja menyaksikan kelakuan buruk ayah merka. Memang benar bahwa ikatan persahabatan sejati terjalin antara ibu dan anak perempuan, sementara sang ayah merasa tidak dibutuhkan," tukas Galbraith lagi.
Galbraith menegaskan ada bukti-bukti kuat yang mendukung fakta bahwa anak laki-laku kurang bisa menyesuaikan diri dengan gejolak emosi ketimbang anak perempuan.
"Para orang tua secara intuisi sadar bahwa anak laki-laki tidak bisa mengatasi gejolak emosi jika orang tuanya bercerai, karena itu mereka memutuskan untuk tidak bercerai. Anak laki-laki cenderung tidak berbicara tentang perasaan mereka. Tekanan emosi mereka bisa disalurkan dalam berbagai cara negatif seperti luapan kemarahan, kesedihan, dan mengisolasi diri," papar Galbraith.
Beban semakin berat ketika setelah perceraian ayah mereka akan memberi mereka tanggung jawab besar di rumah. "Kamu adalah pemimpin rumah ini sekarang," para ayah sering berkata ketika mereka bercerai.
Menurut Dr Jennifer Leonard yang seorang psikolog, ibu yang punya anak perempuan lebih siap menghadapi gagalnya pernikahan karena mereka merasa puteri mereka tidak membutuhkan kehadiran dari seorang ayah, tak seperti anak laki-laki.
"Ibu yang memiliki anak laki-laki lebih besar kemungkinannya bekerja untuk tetap menjaga ada yang berperan sebagai ayah di dalam rumah tangga," kata Leonard.
"Pria tentu saja punya cara yang jauh berbeda dalam berinteraksi dengan anak-anak. Mereka kurang bisa merawat seperti perempuan. Mereka menularkan sikap kasar, semberono, mengambil resiko, dan mandiri," lanjut Leonard.
Ada pendapat yang mengatakan anak perempuan tidak bisa berkembang dengan baik tanpa kehadiran figur ayah."Karena ada hubungan yang akrab antara ibu dan anak perempuan maka peran ayah sering diabaikan," kata Galbraith.
"Ayah sebenarnya berperan dalam perkembangan seksual anak perempuan. Hubungan yang erat dengan ayah akan membuat anak perempuan lebih percaya diri," imbuh Galbraith.
Kathleen Cox mewanti-wanti hubungan yang terlalu akrab antara ibu dan anak perempuan. "Sangat memprihatinkan karena banyak ibu yang ingin menjadi lebih seperti sahabat anak gadis mereka," ujar Cox yang juga seorang psikolog itu,
"Siapa yang akan menjadi orang tua dalam hubungan itu?" tukas Cox. "Dewasa ini ibu mengikuti gaya hidup anak gadis mereka, menggunakan busana yang sama, dan pergi ke klub malam bersama," Cox menambahkan.
Cox juga prihatin karena para ibu lebih mementingkan ikatan dengan puterinya ketimbang hubungannya dengan suami. "Sebuah pola baru berkembang di mana keluarga berjalan tanpa peran ayah. Ayah merasa dikucilkan, terutama dalam keluarga yang didominasi oleh perempuan," urai Cox.
Uraian Cox itu seakan menemukan pembuktiannya dalam keluarga Tony Docherty, seorang perempuan berusia 52 tahun yang bercerai dengan suaminya setelah 28 tahun menikah. Cox kini tinggal dengan dua puterinya, Anna yang berusia 22 tahun dan Lousia yang berusia 20 tahun.
"Suami saya adalah seorang pria yang sangat maskulin dan ia tampaknya susah hidup dalam rumah tangga yang penuh dengan perempuan," kata Tony.
"Saya dan puteri-puteri saya sudah seperti sebuah tim dan ia merasa disingkirkan dari kehidupan kami," lanjut Tony yang kerap pergi berbelanja busana dan alat-alat rias bersama puterinya.
"Suami saya dulunya adalah seorang polisi dan ia juga pernah bermain sepak bola di tim junior Arsenal, tetapi puteri kami tidak memiliki hasrat untuk olahraga," pungkas Tony.
0 komentar:
Posting Komentar
KOMENTAR ANDALAH YANG KAMI BUTUHKAN.